• Jenis-Jenis Shot, Sudut, dan Gerakan Kamera

    Pengambilan gambar di mana kamera berada di belakang bahu salah satu pelaku, dan bahu si pelaku tampak atau kelihatan dalam frame. Obyek utama tampak menghadap kamera dengan latar depan bahu lawan main...

  • Mengenal Feature

    Apa itu Feature? Wahyu Wibowo mengatakan bahwa batasan pasti tentang feature memang sulit. Menurut Daniel R. Williamson (1983), misalnya, feature ibarat desir angin di antara pepohonan...

  • SEGMENTASI

    Definisi Segmentasi Audience : - Proses untuk mengelompokan audience ke dalam kotak yang homogen. - Pengelola media penyiaran harus memilih satu / beberapa audience saja...

  • Menulis Berita TV

    Penonton televisi menggunakan dua indra sekaligus, yaitu mata dan telinga ketika menonton berita televisi. Hal ini berbeda dengan media lain yang hanya menggunakan satu indra saja....

Jenis-Jenis Shot, Sudut, dan Gerakan Kamera


JENIS-JENIS SHOT

CU (Close Up)
Shot yang menampilkan dari batas bahu sampai atas kepala.
MCU (Medium Close Up)
Shot yang menampilkan sebatas dada sampai atas kepala.

BCU (Big Close Up)
Shot yang menampilkan bagian tubuh atau benda tertentu sehingga tampak besar. Misal : wajah manusia sebatas dagu sampai dahi.

ECU (Extrime Close Up)
Shot yang menampilkan detail obyek. Misalnya mata, hidung, atau telinga.

MS (Medium Shot)
Shot yang menampilkan sebatas pinggang sampai atas kepala.

TS (Total Shot)
Shot yang menampilkan keseluruhan obyek.

ES (Establish Shot)
Shot yang menampilkan keseluruhan pemandangan atau suatu tempat untuk memberi orientasi tempat di mana peristiwa atau adegan itu terjadi.

Two Shot
Shot yang menampilkan dua orang.

OSS (Over Shoulder Shot)
Pengambilan gambar di mana kamera berada di belakang bahu salah satu pelaku, dan bahu si pelaku tampak atau kelihatan dalam frame. Obyek utama tampak menghadap kamera dengan latar depan bahu lawan main.
 


SUDUT PENGAMBILAN KAMERA

High Angle (Bird eye view)
Posisi kamera lebih tinggi dari obyek yang diambil.

Normal Angle
Posisi kamera sejajar dengan ketinggian mata obyek yang diambil.

Low Angle (Frog eye view)
Posisi kamera lebih rendah dari obyek yang diambil.

Obyektive Kamera
Tehnik pengambilan di mana kamera menyajikan sesuai dengan kenyataannya.

Subyektive Kamera
Tehnik pengambilan di mana kamera berusaha melibatkan penonton dalam peristiwa. Seolah-olah lensa kamera sebagai mata si penonton atau salah satu pelaku dalam adegan.
 


GERAKAN KAMERA

Panning
Panning adalah gerakan kamera secara horizontal (posisi kamera tetap di tempat) dari kiri ke kanan atau sebaliknya.

Pan right : gerak kamera mendatar dari kiri ke kanan.
Pan left : gerak kamera mendatar dari kanan ke kiri.
Tilting
Tilting adalah gerakan kamera secara vertikal (posisi kamera tetap di tempat) dari atas ke bawah atau sebaliknya.

Tilt up : gerak kamera secara vertikal dari bawah ke atas.
Tilt down : gerak kamera secara vertikal dari atas ke bawah.

Tracking
Track adalah gerakan kamera mendekati atau menjauhi obyek.
Track in : gerak kamera mendekati obyek
Track out : gerak kamera menjauhi obyek 

Film Dokumenter



Apa Itu Film Dokumenter?

Ternyata tidak mudah untuk mendapat jawaban yang benar-benar pasti. Ada banyak cara yang dilakukan para pembuat film dokumenter dalam mendefinisikan apakah sesungguhnya yang mereka kerjakan itu. Namun uraian ini akan mencoba melihat dari perspektif yang ditawarkan oleh seorang pengamat dan pengajar dokumenter yaitu Bill Nichols. Dalam bukunya yang berjudul Representing Reality, Nichols membuat sebuah rumusan sederhana dalam memberikan pemahaman yang hakiki mengenai definisi film dokumenter. Ia mengatakan bahwa film dokumenter adalah sebuah upaya untuk ‘menceritakan kembali sebuah kejadian/realita, menggunakan fakta dan data’.

Ada tiga hal yang saya garisbawahi dalam penjelasan Nichols tersebut. Pertama adalah ‘kejadian’ atau ‘realita’. Kejadian dalam hal ini dipahami sebagai apa yang tampak di sekitar pembuat film. Sesuatu yang menganggu atau menggelitik rasionalitas pembuat film. Sesuatu yang memunculkan pertanyaan lebih jauh lagi dalam benak sang pembuat film. Apa? Kenapa? Bagaimana? Siapa? Dan selanjutnya. Itu sebabnya, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, pembuat film perlu melakukan sejumlah penggalian data. Seberapa jauh penggalian data dilakukan oleh pembuat film? Jawabnya adalah: sampai pembuat film merasa jelas duduk perkaranya dan ia memiliki opini atau pendapat mengenai hal tersebut.

Lalu apa yang dilakukan setelah pembuat film memiliki opini terhadap persoalan yang mengganggunya itu? Tentunya, pembuat film ingin menyampaikan pendapatnya kepada orang lain. Ia ingin berbagi pendapatnya tersebut ke lebih banyak orang, itu sebabnya ia memilih medium film. Konsekuensi dari penggunaan medium film adalah, ia memerlukan cerita untuk bisa menyampaikan opininya. Kenapa perlu cerita? Karena alur cerita akan memudahkan orang lain dalam menyerap semua informasi yang berkaitan dengan persoalan yang diangkat. Cerita digunakan untuk membangun ketertarikan penonton dalam mengikuti penjelasan-penjelasan dalam film, hal yang seringkali diabaikan dalam sebuah karya ilmiah atau presentasi yang bersifat umum.

Sampai tahap ini, tentunya akan muncul pertanyaan: lalu apa bedanya film dokumenter dengan film fiksi atau film cerita? Juga apa bedanya film dokumenter dengan berita? Mengingat dalam film dokumenter ada elemen fakta dan data yang dekat sekali dengan format berita serta ada elemen cerita yang merupakan milik film fiksi.

Memang tidak mudah membedakan ketiganya dari segi esensi. Masing-masing memiliki bidang irisan sehingga satu dengan yang lainnya saling bertemu di beberapa hal. Tabel di bawah ini mungkin bisa memudahkan anda memahami di mana letak persamaan dan perbedaan antara ketiga format ini.

Film Cerita
Film Dokumenter
Berita
Tidak selalu menggunakan fakta dan data dalam mengungkapkan kejadian
Mengungkapkan kejadian menggunakan fakta dan data
Mengungkapkan kejadian menggunakan fakta dan data
Boleh ada unsur khayalan pembuat film
Setia pada fakta dan data
Setia pada fakta dan data
Subjektif, tergantung cara pandang pembuat film
Subjektif, tergantung cara pandang pembuat film, sehingga ada keberpihakan
Objektif, karena harus mematuhi etika penyampaian berita secara berimbang (cover both side)
Ada pesan yang ingin disampaikan oleh pembuat film
Ada pesan yang ingin disampaikan oleh pembuat film, yaitu opini si pembuat film
Bisa hanya sekadar melaporkan apa yang terjadi
Alur cerita merupakan elemen utama
Memerlukan alur cerita sebagai media penyampai pesan
Tidak memerlukan alur cerita ataupun elemen dramatik lainnya

Menampilkan Orang yang Sesungguhnya dan Situasi yang Sebenarnya

Jadi pada prinsipnya, baik film dokumenter maupun berita, sama-sama berdasarkan pada fakta dan dituntut setia terhadap fakta. Sementara film fiksi, bisa berdasarkan fakta, namun ia tidak dituntut untuk setia terhadap fakta yang ditemukan lewat riset mereka. Pembuat film fiksi yang berdasarkan kisah nyata, memiliki kebebasan untuk menambahkan khayalan ataupun elemen-elemen di luar fakta yang mereka temukan di lapangan. Tidak demikian dengan film dokumenter maupun berita.


Jujur, Jelas, Namun Bukan Simplifikasi

Hal yang tak kalah penting selain setia pada data adalah sikap jujur dari pembuat film dalam menyikapi pesoalan yang ditampilkan dalam filmnya. Itu sebabnya, pembuat film dokumenter dituntut untuk menggali secara mendalam dan menyeluruh setiap hal yang sekiranya terkait dengan persoalan yang ditampilkan. Banyak sekali pemula yang terjebak sewaktu menampilkan persoalan yang menjadi topik utama filmnya. Ajukan serangkaian pertanyaan di bawah ini kepada diri anda sendiri sewaktu melakukan riset:

• Sedalam apakah pengetahuan anda mengenai persoalan tersebut?
• Seberapa jauh pengetahuan anda mengenai tindakan-tindakan subjek?
• Isi kepalanya?
• Mimpi-mimpinya?
• Opininya?
• Apa hubungan subjek dengan karakter lain?
• Bagaimana subjek menghadapi persoalan tersebut? Apa perasaannya waktu itu?
Selalu cek dan cek ulang pengetahuan anda seputar subjek dan hal-hal yang terkait dengannya. Apakah anda sudah mengetahui dan memahaminya betul? Adakah variasi-variasi yang masih membingungkan? Jangan pernah menyederhanakan persoalan. Kalau anda sendiri belum paham, bagaimana anda bisa membuat penonton anda paham? Itu sebabnya, jangan pernah berhenti mempertanyakan hal ini kepada diri anda, karena anda harus secara jujur menampilkan bagaimana karakter atau subjek menggeluti persoalan yang dihadapinya.

Sebuah film dokumenter haruslah akurat dan jujur karena akan langsung tercermin dan ditangkap oleh penonton. Hal inilah yang seringkali membuat video presentation dan company profile gagal menginspirasi penontonnya. Data-data permukaan yang artifisial, tidak akan pernah mampu menyentuh emosi penonton.


Konstruksi Subjektif

Dalam film dokumenter, subjektivitas merupakan elemen yang tak terhindarkan. Sebaliknya objektivitas adalah hal yang semu. Coba bayangkan, bagaimana anda harus menempatkan posisi kamera yang objektif? Atau kapan secara objektif anda harus mematikan atau menyalakan kamera? Atau bagaimana secara objektif anda bisa menempatkan posisi subjek dalam bingkai kamera? Pertanyaan semacam ini akan terus membentuk daftar yang teramat panjang hingga; bagaimana urutan gambar bisa kita pilih secara objektif di tahap pengeditan? Ucapan-ucapan mana dari subjek film yang secara objektif harus kita pilih? Itu sebabnya, seperti dijelaskan sebelumnya, objektivitas dalam film dokumenter adalah sesuatu yang semu. Dunia dokumenter adalah dunia subjektif.

Sederhananya, membuat film dokumenter adalah kegiatan yang meliputi serangkaian pilihan-pilihan signifikan mengenai apa yang akan kita rekam, bagaimana cara merekamnya, apa saja yang harus digunakan dan bagaimana menggunakannya secara efektif. Karena pada akhirnya, apa yang akan anda tampilkan di depan penonton, bukan sekadar kejadian itu semata. Anda akan menampilkan sebuah opini atau pendapat anda, sebuah konstruksi dengan dinamika dan penekanan-penekanan sesuai dengan logika anda sendiri.

Inilah yang membedakannya dengan berita. Jurnalis menggunakan film semata sebagai media untuk memaparkan suatu kejadian, seringkali tanpa interes atau opini apapun. Kalaupun ada opini, hal itu harus disampaikan secara komprehensif dengan memberikan kesempatan kepada semua pihak yang terlibat untuk menyampaikan cara pandang masing-masing. Ini disebabkan karena seorang jurnalis harus terikat dengan kode etik jurnalistik dalam menyampaikan gagasan mereka.


Creative Treatment of Actuality

John Grierson—salah seorang bapak film dokumenter—menyatakan bahwa film dokumenter adalah penggunaan cara-cara kreatif dalam upaya menampilkan kejadian atau realita. Itu sebabnya, seperti halnya film fiksi, alur cerita dan elemen dramatik menjadi hal yang penting. Begitu pula dengan bahasa gambar (visual grammar). Mengapa begitu? Karena film dokumenter bukan ditujukan sekadar menyampaikan informasi, titik. Pembuat film dokumenter ingin penontonnya tidak cuma mengetahui topik yang diangkat. Ia ingin agar penontonnya mengerti dan mampu merasakan problematika yang dihadapi karakter atau subjek dalam film. Pembuat film ingin agar penonton tersentuh dan bersimpati kepada subjek film. Untuk itu diperlukan pengorganisasian cerita yang bagus dengan karakter yang menarik, alur yang mampu membangun ketegangan dan sudut pandang yang terintegrasi.


Bentuk-Bentuk Film Dokumenter

Lalu bagaimana bentuk film dokumenter itu sendiri? Untuk menjawab hal tersebut, mari kita simak bagaimana perjalanan sejarah film dokumenter. Kalau kita menggunakan pemahaman bahwa realita adalah kenyataan yang kita lihat di hadapan kita, dan film dokumenter adalah upaya untuk mendokumentasikan (merekam) realita semacam itu, maka usia film dokumenter sama tuanya dengan teknologi film itu sendiri.

Dikatakan demikian, karena sejak awal usaha manusia untuk mengembangkan teknologi yang mampu merekam gambar hidup, apa yang dilakukan adalah dengan merekam aneka peristiwa yang terjadi di hadapan mereka. Apa yang dilakukan Lumiere Bersaudara dalam persaingannya dengan George Eastman di akhir abad ke-18 dalam mewujudkan teknologi kamera film dan bioskop, mereka merekam bayi yang baru belajar berjalan, perjalanan kereta api, kapal laut bersandar di pelabuhan serta buruh pabrik pulang dari tempat kerja mereka.

Namun, apakah ini yang disebut sebagai film dokumenter? Pada akhir abad ke-19, seorang geolog yang dikontrak perusahaan minyak untuk melakukan explorasi di utara Benua Amerika, mendokumentasikan kehidupan keluarga Eskimo selama lebih dari 15 tahun. Kumpulan dokumentasi tersebut kemudian diedit menjadi sebuah film berjudul Nanook of the North, dan geolog tersebut adalah Robert J. Flagherty yang kemudian menjadi bapak film dokumenter. Apakah ini yang disebut film dokumenter masa kini? Sulit untuk mendapatkan jawaban yang tepat karena para pembuat film dokumenter yang terinspirasi para perintis ini kemudian mengembangkan beraneka pendekatan baru. Untuk apa? Semata karena mereka memerlukan bentuk-bentuk yang lebih tepat dalam mengeskspresikan pendapat mereka terhadap kejadian-kejadian di sekitar kehidupan manusia, bahkan di tempat-tempat yang tak terjangkau sebagian besar orang—ke hadapan para penonton, agar mereka bisa memetik pelajaran yang berguna dari realita tersebut.

Untuk ringkasnya, gaya atau bentuk film dokumenter dapat dibagi ke dalam 3 bagian besar. Pembagian ini merupakan ringkasan dari aneka ragam bentuk film dokumenter yang berkembang sepanjang sejarahnya. Mengapa kita perlu tahu ragam bentuk film dokumenter yang ada? Karena mengenali bentuk-bentuk film dokumenter ini, serta memahami kelebihan, kelemahan, keterbatasan dan keunggulannya akan bisa membantu usaha anda untuk menyampaikan pesan-pesan yang mendorong anda untuk membuat film dokumenter. 


Expository

Dokumenter dalam kategori ini, menampilkan pesannya kepada penonton secara langsung, baik melalui presenter ataupun dalam bentuk narasi. Kedua bentuk tersebut tentunya akan berbicara sebagai orang ketiga kepada penonton secara langsung (ada kesadaran bahwa mereka sedang menghadapi penonton/banyak orang). Mereka juga cenderung terpisah dari cerita dalam film. Mereka cenderung memberikan komentar terhadap apa yang sedang terjadi dalam adegan, ketimbang menjadi bagian darinya. Itu sebabnya, pesan atau point of view dari expository dielaborasi lebih pada sound track ketimbang visual. Jika pada film fiksi gambar disusun berdasarkan kontinuitas waktu dan tempat yang berasaskan aturan tata gambar, maka pada dokumenter yang berbentuk expository, gambar disusun sebagai penunjang argumentasi yang disampaikan oleh narasi atau komentar presenter. Itu sebabnya, gambar disusun berdasarkan narasi yang sudah dibuat dengan prioritas tertentu.

Salah satu orang yang berperan dalam kemunculan bentuk dokumenter ini adalah John Grierson, yang menurutnya, pembuat dokumenter haruslah menempatkan dirinya sebagai seorang propagandis, yang mengangkat tema-tema dramatis dari kehidupan yang dekat di sekeliling kita sebagai sebuah kewajiban sosial atau kontribusi terhadap lingkungan dan budaya. Seorang pembuat film dokumenter, katanya, “bukanlah cermin, tetapi sebuah gada (palu besi yang besar)”. Hal ini memang tercermin dari film-film Grierson yang sering mengangkat persoalan seputar kehidupan sosial orang-orang kebanyakan. Pada masa itu, film dokumenter adalah barang baru, karena masyarakat masih menganggap layar lebar atau televisi adalah tempat artis, celebritis dan tokoh masyarakat, bukan tempat kita menonton perilaku wong cilik. Itu sebabnya film-film Grierson banyak bercerita tentang buruh, gelandangan, dll.

Pada perkembangannya, sewaktu peralatan kamera dan perekam suara portabel ditemukan, expository juga menggunakan format wawancara yang memungkinkan orang—selain pembuat film—bisa memberikan komentar, baik secara langsung atau sebagai voice over, demikian juga penggunaan archival footage seperti foto, film footage, gambar, dll. Inilah yang kemudian menjadi mainstream dokumenter di televisi.

Argumentasi yang dibangun dalam expository umumnya bersifat didaktik, bertendensi memaparkan informasi secara langsung kepada penonton, bahkan mampu mempertanyakan baik-buruk suatu fenomena berdasarkan pijakan moral tertentu dan umumnya mengarahkan penonton pada satu kesimpulan secara langsung. Agaknya inilah yang membuat bentuk expository popular di kalangan televisi, karena ia menghadirkan sebuah sudut pandang yang jelas (it presents its point of view clearly) dan menutup kemungkinan adanya misinterpertasi.

Namun dari segala kelebihan tersebut, justru expository banyak mendapat kritikan karena cenderung menjelaskan makna dari gambar yang ditampilkan. Seolah mereka tidak yakin kalau gambar-gambar tersebut mampu menyampaikan pesannya sendiri. Bahkan, expository cenderung menempatkan pemirsanya seolah tak memiliki kemampuan untuk membuat kesimpulan sendiri. Dan tentu saja, kehadiran voice over cenderung membatasi bagaimana gambar harus dimaknai. Selain itu, karena gambar disusun bukan bersarkan audio yang terdapat dalam gambar tersebut (suara atmosfer yang terekam saat shooting atau dialog yang terdapat dalam gambar tersebut), melainkan berdasarkan narasi yang sudah dibuat sebelumnya, ia menjadi kehilangan konteks. Tak heran kalau susunan gambarnya tidak memiliki kontinuitas, serta koherensi. Coba anda tonton tayangan seperti ini tanpa audio, pasti akan sulit sekali untuk menangkap makna film tersebut.

Namun, sesungguhnya tidak ada yang salah dengan penggunaan voice over (VO) atau narasi. Dalam banyak kasus, kehadiran narasi atau VO sangat diperlukan. Misalnya apabila visual dirasa kurang mampu atau tidak bisa memberikan informasi yang memadai tentang apa yang hendak disampaikan. Atau tidak tersedia visual yang betul-betul kuat untuk mengungkap pesan yang ingin disampaikan. Selama penggunaannya dilakukan secara cantik, efektif, dan informatif, VO atau narasi akan sangat membantu. Seringkali pembuat film menggunakan VO atau narasi untuk memancing rasa ingin tahu penonton, lalu membiarkan gambar berikutnya memberikan penjelasannya. Kadang VO digunakan untuk mengkomentari visual secara ironis atau reflektif (suara hati, misalnya) tanpa harus berkotbah. Namun intinya, anda tidak perlu mengatakan sesuatu dan memperlihatkannya secara bersamaan. Atau jangan menjelaskan apa yang sudah jelas terlihat dalam gambar.


Observatory/Direct Cinema

Aliran ini muncul sebagai bentuk ketidakpuasan para pembuat film dokumenter terhadap model sebelumnya yang telah diuraikan diatas. Pendekatan yang bersifat observasi ini utamanya ingin merekam kejadian secara spontan, natural dan tidak dibuat-buat. Itu sebabnya, pendekatan ini menekankan pada kegiatan shooting yang informal tanpa tata lampu khusus ataupun persiapan-persiapan yang telah dirancang sebelumnya. Kekuatan mereka adalah kesabaran untuk menunggu kejadian-kejadian yang signifikan berlangsung di hadapan kamera.

Para penekun direct cinema berangkat dari keyakinan bahwa lewat pendekatan yang baik, kehadiran pembuat film beserta kameranya, akan diterima sebagai bagian dari keseharian para subjeknya. Bahkan pada kasus-kasus tertentu, kehadiran pembuat film dan kamera, sepertinya sudah tidak dianggap ada oleh subjek beserta keluarganya. Pembuat film berusaha agar kehadiran mereka sekecil mungkin memberikan pengaruh terhadap kehidupan keseharian dari para subjeknya.

Tentunya hal ini mensyaratkan proses pendekatan terhadap subjek dibangun dalam jangka waktu yang relatif panjang dan intens. Perkenalan yang baik di tahap awal memegang peranan penting agar pembuat film dapat diterima. Pembuat film akan berusaha bergaul seakrab mungkin dengan subjek sambil membangun kepercayaan. Hal ini biasa dilakukan di tahap riset. Dibutuhkan waktu yang cukup panjang sebelum pembuat film kemudian membawa kamera dan melakukan pengambilan gambar. Setelah pembuat film merasa kehadirannya di lingkungan subjek sudah tidak lagi dirasa asing dan tidak lagi dipertanyakan, barulah pembuat film mulai memperkenalkan kehadiran kamera. Proses shooting pun mengikuti rutinitas yang biasa dilakukan oleh subjek sehari-hari. Hal ini dilakukan karena aliran ini cenderung tidak ingin memberikan kesan bahwa para subjeknya sedang dalam kegiatan khusus untuk keperluan pengambilan gambar. Pembuat film tidak ingin para subjeknya ber-acting di depan kamera dan melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak biasa mereka lakukan sehari-hari. Oleh karenanya, sebisa mungkin keberadaan kamera diusahakan tidak tampil menonjol.

Kemunculan aliran ini tidak lepas kaitannya dengan teknologi baru dalam dunia perfilman yang menghadirkan peralatan-peralatan yang semakin kompak, kecil dan mudah dioperasikan serta memiliki kemampuan mobilitas yang tinggi. Kehadiran wireless microphone serta directional microphone dengan fokus yang sempit dan sensitif terhadap jarak, menjadi salah satu andalan.

Direct Cinema memang berhasil menghadirkan kesan intim antara subjek dengan penonton. Subjek secara spontan menyampaikan persoalan yang mereka hadapi. Tidak saja melalui ucapan langsung ke kamera, namun melalui tindakan, kegiatan serta percakapan yang dilakukan dengan subjek-subjek lain secara aktual. Sehingga, penonton merasa dihadapkan pada realita yang sesungguhnya.

Karena kamera mampu menangkap kegiatan serta percakapan-percakapan yang spontan, intim, dan alami inilah, para penggiat aliran ini kemudian meninggalkan penggunaan narasi. Bahkan kehadiran narasi jadi dianggap menggangu. Narasi menjadi elemen yang asing dalam susunan gambar. Narasi dianggap mereduksi dan membatasi realita yang ditampilkan. Logika dalam narasi juga dianggap bertendensi menjelas-jelaskan serta menggurui penonton. Wawancara yang bersifat formal juga dihindari. Pembuat film lebih tertarik untuk mengikuti apa yang diperbuat subjek ketimbang mendengarkan ocehan mereka, sehingga subjek tampil lebih sebagai individu yang unik, bukan mewakili kategori-kategori tertentu. Hal ini dilakukan karena pembuat film ingin memfilmkan pengalaman hidup ketimbang membuat kesimpulan atau pelaporan.

Konsekuensi lain dari direct cinema adalah, pembabakan dalam film ditata, utamanya menggunakan semua elemen kejadian yang berhasil direkam. Itu sebabnya, pekerjaan mengedit dalam aliran ini menjadi lebih berat lagi. Tanpa kehadiran narasi, susunan gambar harus tepat, saling menjalin dalam struktur sebab-akibat yang jelas dan logis sehingga mampu menjelaskan segala informasi yang dibutuhkan penonton. Apa yang telah dirancang berdasarkan hasil riset yang telah dilakukan secara mendalam, belum tentu mampu berhasil di dapat pada tahap perekaman. Karena pembuat film berusaha seminimal mungkin melakukan pengarahan seara langsung kepada subjek-subjek filmnya. Penggunaan teknik handheld-pun menjadi lebih dominan mengingat kecilnya kemungkinan pembuat film melakukan persiapan yang cukup untuk melakukan penempatan kamera dengan tripod secara terencana. Penggunaan lensa wide angle juga menjadi penting untuk memberikan kesan penonton hadir ditengah-tengah arena yang sedang berlangsung.

Direct Cinema percaya bahwa film dokumenter bisa bertindak bak sebuah cermin bagi suatu realitas. Itu sebabnya, mereka berusaha agar kehidupan yang mereka rekam menceritakan sendiri persoalanya, dan pembuat film hanya menjadi alat bantu untuk merefleksikannya ke layar. Sementara penonton diberi kebebasan untuk menginterpretasi susunan gambar. Berbagai informasi yang signifikan diletakan oleh pembuat film dalam susunan yang tidak ketat dan diusahana tidak mengalami reduksi, sehingga memberikan kesempatan kepada penonton untuk menyusun logikanya sendiri.


Reflexive/Cinéma Vérité

Berbeda dengan kaum observer yang cenderung tidak mau melakukan intervensi dan cenderung menunggu krisis terjadi, kalangan cinéma vérité justru secara aktif melakukan intervensi dan menggunakan kamera sebagai alat pemicu untuk memunculkan krisis. Dalam aliran ini, pembuat film cenderung secara sengaja memprovokasi untuk memunculkan kejadian-kejadian tak terduga.

Cinéma vérité tidak percaya kalau kehadiran kamera tidak mempengaruhi penampilan keseharian subjek, walaupun sudah diusahakan tidak tampil dominan. Menurut mereka, kehadiran pembuat film dan kameranya pasti akan mengganggu keseharian subjek. Tidak mungkin subjek tidak memperhitungkan adanya kehadiran orang lain dan kamera. Subjek pasti memiliki agenda-agenda mereka sendiri terkait dengan keterlibatan mereka dalam proses pembuatan dokumenter tersebut. Oleh karenanya, ketimbang berusaha membuat subjek lengah terhadap kehadiran pembuat film dan kamera—yang menurut mereka tidak mungkin terjadi—pergunakan saja kamera sebagai alat provokasi untuk memunculkan krisis atau ide-ide baru yang spontan dari kepala subjek.

Pendekatan ini sangat menyadari adanya proses representasi yang terbangun antara pembuat film dengan penonton seperti halnya pembuat film dengan subjeknya. Itu sebabnya, pembuat film dalam aliran ini tidak berusaha bersembunyi, mereka justru tampil menempatkan diri sebagai orang pertama, sebagai penyampai issue sehingga tidak jarang mereka tampil langsung di kamera atau berbicara kepada subjek, kepada penonton ataupun kepada dirinya sendiri. Pembuat film berbicara langsung ke kamera ataupun melalui voice over. Bahkan ada berapa pembuat film yang merasa perlu menampilkan proses kegiatan perekaman-aktivitas kru in-frame langsung atau melalui bayangan di cermin selama rekaman berlangsung—untuk mengingatkan penonton bahwa kru film juga bagian dari proses komunikasi yang sedang mereka lakukan.


Penulisan Film Dokumentar

Ada dua tahap penulisan skenario untuk dokumenter:
- skenario pra-syuting, atau shooting script
- skenario pasca-syuting

Skenario pra-syuting itu ibarat membawa sebuah peta ketika sedang melakukan perjalanan. Kita bisa berpapasan dengan rintangan, kejadian, atau kejutan yang tak terduga. Kita bisa menemukan daerah yang belum terjamah yang tidak terdapat di dalam peta. Kita bisa menentukan arah langkah kita, langkah berikutnya, bahkan langkah setelahnya lagi. Peta akan membantu kita supaya tidak tersesat. Shooting script adalah peta konseptual untuk petualangan syuting yang aan kita lakukan. Didalamnya terdapat riset dan outline (garis besar) kisah dalam film sebagai patokan syuting. Format dan elemen yang terdapat didalamnya sama dengan skenario pasca-syuting dan isinya bisa sangat lengkap atau hanya garis besar saja, tergantung dari informasi yang sudah dimiliki oleh penulis pada tahap tersebut.

Skenario pasca-syuting adalah versi akhir dari shooting script. Skenario ini biasanya hasil modifikasi dan penulisan ulang dari shooting script dan dibuat setelah syuting dan sebelum proses editing dimulai. Didalamnya merupakan pencampuran elemen-elemen konseptual serta informasi audio-visual yang dikumpulkan selama syuting. Pengalaman dan pengetahuan yang dikumpulkan pada saat produksi tersebut juga bisa dimasukkan. Skenario inilah yang menyulam semuanya menjadi cerita yang sinematik, yang kemudian digunakan oleh pembuat film untuk mengedit. Skenario tahap ini juga mencakup deskripsi shot-shot, aksi, dan kejadian secara mendetil.

Mengenal Feature


Apa itu Feature?
Wahyu Wibowo mengatakan bahwa batasan pasti tentang feature memang sulit. Menurut Daniel R. Williamson (1983), misalnya, feature ibarat desir angin di antara pepohonan. Maksudnya, tiap orang mudah merasakannya, namun sulit merumuskan rasa itu dalam kata-kata. Ada pula sebuah definisi yang mengatakan bahwa feature adalah adalah tulisan dalam media massa yang bersifat lebih bebas dan disusun dengan mengandalkan gaya individual.

Untuk tidak berlama-lama dalam kebingungan melihat batasan pasti sebuah feature, ada baiknya kita lihat definisi feature yang dikemukakan oleh Biro Pendidikan Majalah Berita Mingguan Tempo (1979) berikut ini:

"Cerita Feature adalah artikel yang kreatif, yang kadang-kadang subjektif, yang terutama dimaksudkan untuk membuat senang dan memberi informasi kepada pembaca tentang suatu kejadian, keadaan atau aspek kehidupan"

Bila dilihat pembagian tulisan secara global, maka feature termasuk ke dalam jenis tulisan nonfiksi, berupa fakta yang dipaparkan secara hidup, kreatif, kadang-kadang dengan sentuhan subjektivitas pengarang dengan penekanan kepada aspek daya pikat kepentingan manusiawi. Tujuannya adalah: memberitahukan, menghibur, mendidik, dan meyakinkan para pembaca. Dapat disimpulkan bahwa feature bergerak antara fakta dan sastra. Atau dengan bahasa lain, meramu fakta dengan gaya sastra.

Perbedaan Feature & News
Feature berbeda dengan berita biasa. Di dalam penulisan feature faktor manusiawi lebih menonjol dibandingkan berita yang sifatnya lugas. Berita yang sudah terlambat tetapi layak diangkat lagi, misalnya tingkat pembunuhan di Jakarta, bisa menjadi feature menarik akhir pekan misalnya berdasarkan sedikit riset.

Sesuai dengan batasan yang dibuat majalah Tempo di atas dapat diambil kesimpulan bahwa feature memiliki karakteristik sebagai berikut:
1.  Kreatif: memungkinkan penulis "mencipta" sebuah cerita (dengan teknik berkisah), namun bukan cerita  fiktif
2.  Subjectif: dengan penggunaan model aku, memungkinkan penulis memasukkan emosi dan pikirannya.
3. Informatif: Feature memang terkadang tidak memiliki nilai berita. Ia justeru cenderung memberi nilai informasi mengenai situasi/aspek kehidupan
4. Menghibur: Bahan feature dengan sengaja dicarikan dari cerita yang ekslusif dan ditulis secara mendalam (indepth), termasuk aspek humor yang menyertainya
5.  Awet: berita bisa basi dalam 24 jam, tapi feature tak akan pernah basi.
  

Jenis-jenis Feature
a.     Feature Berita
Yaitu suatu feature yang lebih banyak mengandung unsur beritanya, dan berhubungan dengan peristiwa aktual yang menarik perhatian khalayak. Feature ini biasanya adalah merupakan pengembangan dan pendalaman (News analisys) dari sebuah Straight News atau issue yang masih menjadi perhatian publik.

b.     Feature Opini
Feature jenis inipun biasanya terkait secara langsung atau tidak langsung dengan isu-isu yang masih aktual tentang sebuah peristiwa, sebuah ide/gagasan, atau sebuah statemen (pernyataan) orang penting, dan lain-lain. Bisa juga termasuk ke dalam jenis ini adalah artikel tentang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, fenomena kehidupan sosial-ekonomi, politik, kebudayaan, kesusteraan, dan lain-lain.

c.     Feature Human Interest
Yaitu Feature yang muatan isinya langsung dapat menyentuh rasa perikemanusiaan pembaca, seperti kegembiraan, kejengkelan, bahkan kebenciannya. Contohnya adalah feature tentang anak jalanan di Jakarta, perilaku penyimpangan seksual di kalangan remaja, merebaknya perilaku peyalahgunaan narkoba, dan sejenisnya.

d.     Feature Profil Tokoh (biografi)
Feature ini bercerita tentang penampilan (profil) dan biografi singkat tokoh-tokoh tertentu yang menarik untuk dibaca. Contoh feature jenis ini misalnya adalah tulisan tentang seorang tokoh yang baru meninggal (in memoriam)

e.     Feature Perjalanan/Petualangan
Feature ini biasanya ditulis oleh pelaku perjalanan atau petualangan secara langsung atau tak langsung. Tulisan ini mengungkap laporan kisah perjalanan, fakta-fakta yang ditemui, dan kesan-kesan yang dirasakan selama perjalanan itu. Dalam Feature jenis ini, subjektifitas penulis sangat menonjol dengan sudut pandang "aku" atau "kami".

f.      Feature Sejarah
Feature ini bercerita tentang fakta-fakta sejarah peristiwa dan tokoh masa lampau di suatu daerah atau tempat. contohnya tentang peristiwa proklamasi kemerdekaan RI, strategi dakwah Islam para wali songo di pulau jawa, dan lain-lain. Feature sejarah yang baik, mampu membawa pembacanya ke masa silam. Seolah para pembaca ikut masuk ke dalam peristiwa sejarah yang dibacanya.

g.     Feature Tips
Feature ini dikenal juga dengan informasi how to do it. Misalnya tentang model pakaian, cara membuat dan menjahitnya, tentang resep makanan, merangkai bunga, kerajinan tangan, merawat dan mengoperasikan kamera, dan sejenisnya.


Tekhnik Penulisan Feature
Jika dalam penulisan berita yang diutamakan ialah pengaturan fakta-fakta, maka dalam penulisan feature kita dapat memakai teknik ''mengisahkan sebuah cerita''. Memang itulah kunci perbedaan antara berita ''keras'' (spot news) dan feature. Penulis feature pada hakikatnya adalah seorang yang berkisah.

Penulis melukis gambar dengan kata-kata: ia menghidupkan imajinasi pembaca; ia menarik pembaca agar masuk ke dalam cerita itu dengan membantunya mengidentifikasikan diri dengan tokoh utama.

Agak berbeda dengan berita lugas (straight News), struktur penulisan feature tidak selalu menggunakan metode ''Piramida terbalik'' yaitu dengan susunan tulisan yang meletakkan informasi-informasi pokok di bagian atas, dan informasi yang tidak begitu penting di bagian bawah, Struktur penulisan feature  tidak terlalu baku. Jadi ia tergantung jenis featurenya.

Namun pada umumnya, dalam penulisan feature di media massa cetak –yang selalu terbatasi tenggat waktu/deadline dan keterbatasan ruang halaman—maka bentuk piramida terbalik masih digunakan. Hanya saja ada tambahan berupa ending yang berisi ringkasan atau kesimpulan dari keseluruhan isi feature.


Persyaratan Pokok Menulis Feature
1.     penguasaaan bahasa Indonesia secara baik dan benar
2.     Mengetahui pengetahuan yang luas tentang jiwa manusia
3.     Memiliki pengetahuan umum yang luas
4.     Memiliki pandangan yang dewasa terhadap etika dan budaya masyarakat sendiri
5.     memiliki ketajaman pikiran untuk melihat persoalan kemasyarakatan

Targeting & Positioning


Targeting
Target pemirsa termasuk hal penting yang harus didefinisikan di awal pembuatan suatu program. Mereka harus diproyeksikan sebagai captive market yang bisa menangkap, merasakan dan mencerna program yang dibuat. Data tentang potensial index pemirsa dan juga availibity pemirsa bisa dipakai untuk memberi gambaran target pemirsa apa yang dominan di masing-masing slot yang ada.

Target audience:
Memilih satu/beberapa segmen audience untuk kegiatan pemasaran & iklan, disebut juga selecting karena audience diseleksi. Seleksi audience sesuai sasaran & kriteria tertentu.

Dengan memilih target audience maka kita akan mengetahui “siapa targetnya”, dengan demikian kita akan mengetahui dampak/hasilnya apakah mau menerima atau menolak informasi tersebut.


POSITIONING
Menurut (Ries & Trout, 1986), “Positioning bukan yang anda lakukan terhadap produk, tetapi sesuatu yang anda lakukan terhadap otak calon pelanggan”
Positioning bukanlah strategi produk tetapi strategi komunikasi. Ia berhubungan erat dengan bagaimana konsumen menempatkan produk anda didalam otaknya sehingga konsumen memiliki penilaian tertentu.

Positioning media adalah strategi komunikasi yang berhubungan dengan bagaimana khalayak menempatkan mediapenyiaran didalam otaknya. Positioning menjadi penting bagi stasiun televisi karena tingkat persaingan yang sangat tinggi.

Pernyataan positioning harus bisa mewakili citra atau persepsi yang akan dicetak dalam benak khalayak audience.

Pernyataan positioning berupa kata-kata yang diolah dalam bentuk rangkaian kalimat yang menarik. Kata-kata itu adalah atribut yang menunjukan segi-segi keunggulan suatu stasiun televisi terhadap pesaingnya.

Pernyataan positioning selain membuat atribut yang penting bagi audience juga harus dinyatakan dengan mudah, enak didengar dan harus dapat dipercaya.